KUNINGAN - Usai mengikuti rapat dengan Ketua DPRD Kuningan, yang dihadiri sejumlah pimpinan SKPD, pada Selasa (02/02/2021) kemarin, Sekretaris Daerah (Sekda) Kuningan, H Dian Rachmat Yanuar, menyebutkan bahwa Kecamatan Ciawigebang sebagai kecamatan dengan angka kemiskinan tertinggi di Kabupaten Kuningan.
Berdasarkan data yang dipegangnya, pada tahun 2018/2019, dengan asumsi tidak ada perubahan data yang signifikan, disebutkan bahwa Kecamatan Ciawigebang memiliki angka kemiskinan sebesar 12 persen. Setelah itu diikuti 3 kecamatan lainnya, yakni Kecamatan Cidahu, Kecamatan Kalimanggis, dan Kecamatan Cimahi.
"Sementara kecamatan yang angka kemiskinannya rendah, justru berada di pinggiran. Seperti Kecamatan Cilebak (terendah), diikuti Kecamatan Pasawahan, Kecamatan Mandirancan, Kecamatan Kadugede dan Kecamatan Subang," papar Dian.
Namun pihaknya menandaskan bahwa saat ini pemerintah tidak hanya melihat angka kemiskinan dari jumlahnya saja, melainkan sedang difokuskan pada pendalaman variabel indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan.
"Diakui lah, indeks kedalaman kemiskinan yang diungkapkan Gubernur Jabar memang benar, tertinggi di Jawa Barat. Garis kemiskinan kita berada di level menengah agak tinggi, dengan angka Rp 352.358," sebutnya lagi.
Namun, Pemerintah Daerah Kuningan saat ini tidak akan menyoal data yang diumumkan gubernur. Namun, publikasi gubernur terkait indeks kedalaman kemiskinan ini akan jadi bahan reorientasi Pemkab Kuningan untuk membuat kebijakan dan penganggaran kegiatan selanjutnya.
Diakuinya, meski upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kuningan yang diklaimnya sudah tepat sasaran ini memang masih belum maksimal.
"Saya kira di tiap daerah juga angka kemiskinan ini sangat dinamis ya. Banyak variabel-variabel yang menentukan, tidak linear," tandasnya.
Makanya, dari tahun ke tahun, pemerintah akan terus melakukan penyempurnaan program dalam penanggulangan kemiskinan ini. Apalagi setelah adanya pengumuman dari Gubernur Jabar tempo hari.
Dari adanya pandemi COVID-19 setahun ke belakang, imbuhnya, terjadi ada efek domino. Warga Kuningan banyak yang jadi perantau dan bekerja di sektor non formal, akibat adanya pandemi, mereka sangat terdampak.
"Adanya pandemi membuat para perantau yang bekerja di sektor non formal ini kehilangan pekerjaan. Mereka akhirnya pulang ke kampung halaman, dan hidup bersama keluarganya di tengah kesulitan ekonomi," paparnya.
Dian menyatakan, berdasarkan data yang dimiliki Bappeda Kuningan, 72 persen kontributor angka kemiskinan adalah dari para pengangguran dan sektor pertanian (petani).
"12 sampai 16 persen dari petani di dalam data adalah mereka yang memiliki lahan kurang dari setengah hektar. Belum lagi bicara buruh tani," katanya.
Mereka bercocok tanam saat ini sulit, karena modalnya habis untuk biaya hidup sehari-hari.
Ke depan, sebagai langkah penanggulangan permasalahan kemiskinan ini, Pemkab Kuningan, akan melakukan reformasi dan updating data masyarakat miskin.
Lalu, dilakukan juga mapping core, untuk mencari tahu penyebab tingginya angka kemiskinan itu apa?
"Anggaran yang terbatas ini, agar bisa disalurkan pada sektor yang betul-betul berkontribusi langsung pada penyebab tingginya angka kemiskinan. Intinya, efektifitas anggaran, " ucapnya.
Pemerintah juga akan lebih fokus melakukan program di kantung-kantung kemiskinan masyarakat dan dengan metode berbeda. Karena penanganannya tidak bisa sama di wilayah-wilayah yang berlainan karakteristik penyebab kemiskinannya.
"Untuk saat ini ada anggaran 90 miliar rupiah dalam program penanggulangan kemiskinan," pungkasnya. (Nars)