KUNINGAN - Proses "pelengseran" Nuzul Rachdy dari jabatan Ketua DPRD Kuningan melalui Paripurna putusan BK DPRD Kuningan, pada Jumat (13/11/2020) malam mendapat beragam komentar dari masyarakat. Sebagian masyarakat mengaku bahwa BK DPRD Kuningan telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan mengapresiasi putusan Paripurna DPRD Kuningan Jumat malam.
Namun, sebagian masyarakat lain menganggap proses yang dilalui BK DPRD Kuningan dan para Pimpinan DPRD melalui Badan Musyawarah (Banmus) DPRD telah cacat prosedur.
Salah seorang yang tidak mengakui hasil putusan Paripurna tersebut adalah mantan anggota DPRD Kuningan, Abidin. Pria yang saat ini menjadi pengelola obyek wisata di Kuningan ini menganggap Putusan Paripurna DPRD pada Jumat malam sudah cacat prosedur.
"Iya, saya anggap cacat prosedur, karena yang namanya demokrasi itu harus melihat secara fakta, bukan melihat pendapat mayoritas atau minoritas. Kenapa harus melihat pada fakta, yaitu prosedur harus benar, " ungkapnya saat ditemui di Jalan Pramuka Kuningan, Sabtu (14/11).
Ia juga melihat ada Surat Keputusan DPRD tanggal 23 Desember 2019 tentang pembagian tugas atau tupoksi pimpinan DPRD Kuningan yang dilanggar dalam perjalanan proses menuju paripurna.
"Dalam surat tersebut, Pimpinan DPRD bertindak sebagai koordinator AKD bukannya anggota atau ketua AKD itu sendiri, " imbuhnya.
Dugaan cacat prosedur juga disebutkan Abidin, terjadi saat Rapat Badan Musyawarah yang mengundang dua ahli hukum, yakni Profesor I Gde Pantja Astawa dan Dr Suhari.
Dalam Rapat Kerja Banmus yang saat itu dihadiri Prof I Gde, kata Abdidin, berlangsung deadlock dan tidak ada keputusan.
" Seharusnya Rapat Banmus itu, karena diskor dicabut dulu, karena tidak selesai.Tapi sampai sekarang tidak ada pencabutan, " tandasnya.
Selanjutnya, Ia mendapat informasi, ada lagi Pimpinan DPRD menggelar Rapat Banmus yang membahas pencabutan SK DPRD Tanggal 23 Desember 2019, tentang Kewenangan atau Pembagian Tugas /Tupoksi Pimpinan DPRD (seperti yang diungkapkannya di awal).
"Jika memang ada Rapat Banmus yang membahas itu, sah-sah saja. Tapi Saudara Nuzul Rachdy, apakah sebagai Ketua atau Anggota DPRD, pun seharusnya diundang dalam rapat tersebut, " katanya lagi.
Dengan tidak diundangnya Nuzul Rachdy, berarti rapat tersebut tidak sesuai dengan aturan Tatib DPRD. Karena berdasarkan Tatib, selurub anggota DPRD memiliki hak untuk berpendapat dan berbicara.
"Itu pun bahasanya bukan untuk mencabut tapi seharusnya merevisi SK tersebut. Kalau dicabut, bagaimana tugas-tugas pimpinan yang menjadi koordinator bisa bekerja? Jika SK tersebut dicabut, berarti tidak ada pimpinan yang bertindak sebagainkoordinator setelah itu," tanya Abidin.
Ia juga mengutip pernyataan Profesor Jimly Ashidiqqie, bahwa yang namanya (penindakan dugaan pelanggaran) kode etik itu adalah sifatnya pencegahan yang berjenjang.
Di akhir perbincangan, Ia juga menyoal terkait Paripurna yang memutuskan pergantian Ketua DPRD sementara.
"Kok bisa melalui Rapim? kan pimpinan dan anggota dewan itu di-SK oleh Gubernur, bukan melalui Rapim atau Paripurna, " tandasnya. (Nars)