PASKA VONIS UJANG, FRONT PERJUANGAN RAKYAT MENGGUGAT - Kuningan Religi

Breaking



Kamis, 28 Februari 2019

PASKA VONIS UJANG, FRONT PERJUANGAN RAKYAT MENGGUGAT



KUNINGAN - Aliansi gabungan Masyarakat petani Hutan beserta Front Perjuangan Rakyat Kuningan, PMII dan GMNI mengecam putusan Majelis Hakim terhadap Ujang Bin Sanhari pejuang Tani hutan cipedes yang dikriminalisasi oleh perhutani. 

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kuningan pada rabu 27 Februari 2018 memutuskan ujang bin sanhari bersalah kemudian mendapatkan hukuman 1 tahun penjara dan 500juta atau subsider 1 bulan, putusan tersebut tidak jauh beda dengan JPU yang kami nilai sama-sama memberatkan dan condong terhadap penindas rakyat yakni perhutani.


Pasal yang menjerat Pa Ujang Bin Sanhari yaitu pasal 82 ayat 1 huruf b jo pasal 12 huruf b Undang-Undang No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebenarnya tidak tepat untuk menjerat  Ujang Bin Sanhari, karena Undang-undang ini  dikoreksi habis melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 95/PUU-XII/2014 tertanggal 10 Desember 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Ketentuan Pidana Kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun temurun hidup di dalam kawasan hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersil. 



Dan pada surat Edaran Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan RI Nomor : SE.2/Menlhk/Setjen/Kum.4/2/2016 tertanggal 1 Februari 2016 yang pada pokoknya menyebutkan masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan dan  papan untuk kebutuhan sehari-hari diperbolehlkan mengakses kekayaan hutan termasuk menebang pohon dan mengembalakan ternak didalam kawasan hutan yang pada pokoknya diperuntukan secara khusus untuk kebutuhan penghidupan rumah tangga kemudian oleh pejabat yang berwenang dan dapat dibuktikan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pihak lain(komersil) sehingga tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana.
Dalam Pernyataan putusan Majelis Hakim memandang tujuan dari penebangan yang dilakukan oleh Ujang Bin Sanhari untuk komersil padahal dalam kesaksian dari Engkos Kaspu beserta Pak Rozan serta pledoi pribadi Ujang sudah sangatlah jelas peruntukan penebangan bukan tujuang komersil melainkan kebutuhan papan akan tetapi majelis hakim menurut kami tidak jeli dan teliti dalam  pertimbangannya  tidak bisa dibuktikan dan tidak melihat fakta persidangan secara menyeluruh serta tidak utuh dalam membaca  Undang-Undang No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang kami nilai ini bagian dari upaya untuk menghindari putusan MK serta upaya menjadikan penyimpulan pasal tersebut urgensinya jelas menyeret Ujang Bin Sanhari pada jeruji besi. 

Semestinya majelis hakim  melihat bahwa ada ketentuan-ketentuan dasar yang menjadi payung hukum diatasnya. Lalu apakah unsur-unsur dalam Pasal 82 ayat 1 tersebut terpenuhi? Yang menjadikan dasar majelis hakim memutus bersalah sdr ujang bin sanhari. 
Padahal UU tersebut memuat unsur-unsur yang dinyatakan pada konsiderannya yaitu pasal 1 ayat 3 menyatakan  “perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah” . ayat 4 menyatakan “Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi”.



Ayat 5 menyebutkan “Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin menteri”. Dan ayat  6 pada pokoknya menyebutkan bahwa “Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan  hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”.  

Unsur unsur yang ada dalam Undang-Undang No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan senyatanya tidak bisa menjerat Pa Ujang karena penebangan terjadi di wilayah garapan pak Ujang dan mahoni, Jingjing maupun kihiyang bukanlah tanaman pokok yang menjadi objek produksi tanaman perhutani serta status hutan cipedes bukan konservasi melainkan produksi, jadi Majelis Hakim tidak paham secara menyeluruh. Unsur terorganisasi, perusakan hutan dan komersial. 

Sekali lagi  Ujang bin sanhari tidak melakukan penebangan secara terorganisasi, bukan untuk tujuan komersil dan sejatinya tanaman yang diperkarakan adalah hak mutlak ujang bin sanhari karena status tanaman mahoni, Jingjing serta kihiyang merupakan tanaman tumpangsari di blok 40 B dan itu bisa di cek di nota kerjasama serta status keanggotan ujang sebagai anggota LMDH menjadi bukti bahwa beliau merupakan penggarap lahan di blok 40 B jadi beliau menebang di wilayah garapan serta tanaman punya beliau mengapa majelis hakim memutuskan bersalah?    
Ini sangat janggal dan merupakan preseden buruk hukum di kuningan. Orang yang tidak bersalah tetapi di salahkan. 

Jaksa, hakim sudah tidak adil dalam melakukan penuntutan serta memutuskan perkara ujang bin sanhari.
Jelas logika yuridis ini melawan asas dan prinsip keadilan karena terdakwa yang melakukan penebangan sendiri dan hasil tebangan tersebut digunakan untuk keperluan pribadi tidak digunakan untuk kepentingan komersil, bagaimana mungkin disebut sebagai kejahatan yang terorganisasi dan dikenakan pasal dan undang-undang yang ditujukan untuk kejahatan kehutanan yang terorganisasi. 

berkah
Mengapa masih memutus bersalah padahal telah jelas dakwaan/tuntutan JPU tidak terbukti secara sah, seharusnya terdapat alasan penghapus pidana bagi terdakwa sebagai mana Pasal 182 ayat 4 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang pada pokoknya menjelaskan “musyawarah harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang”  dan Pasal 191 ayat 1 yang menyatakan “ jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Maka terdakwa diputus bebas (Vrijspraak). 



Apakah kita masih menjunjung tinggi asas keadilan “fiat justitia ruat coelom (tegakan keadilan meskipun langit akan runtuh) ? atau kita harus menunggu langit runtuh baru keadilan akan datang?.  

(Tulisan: Koordinator Front Perjuangan Rakyat Kuningan-Pemuda Cipedes-PMII dan GMNI dikirim ke redaksi Kuningan Religi oleh Ahmad Musyaffa Aufi)