KUNINGAN - Dari awal viralnya kasus "Diksi Limbah" yang dilontarkan Ketua DPRD Kuningan, Nuzul Rachdy, hingga persidangan kode etik terakhir (putusan) Badan Kehormatan (BK) DPRD Kuningan, pada Senin (02/11/2020), warga Kuningan belum mengetahui seperti apa pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kuningan dalam persoalan ini.
Padahal, persoalan "diksi limbh" ini bagi sebagian komponen masyarakat Muslim Kuningan, dianggap kental sekali kaitannya dengan simbol masyarakat Muslim, yakni pondok pesantren.
Pada kesempatan agenda silaturahmi antara jajaran pengurus MUI dengan Ketua DPRD Kuningan, Senin (02/11) siang, KR sempat melakukan konfirmasi langsung dengan Ketua MUI Kuningan, KH Dodo Syarif Hidayatullah.
Ditanya terkait persoalan "diksi limbah", Ketua MUI menyebutkan bahwa Nuzul Rachdy merupakan bagian dari keluarga MUI Kuningan sebagai Pengurus Dewan Pertimbangan MUI Kuningan Ex-Officio.
"Terkait diksi yang menghebohkan itu, sebetulnya MUI Kuningan telah melakukan langkah-langkah yang tidak kita ekspose ke media, " ungkap KH Dodo.
Langkah-langkah yang telah ditempuh MUI, katanya, yaitu mengundang langsung Nuzul Rachdy sesaat setelah kasus "diksi limbah" ini muncul ke permukaan.
"Tanda kutip, Pak Ketua Dewan telah kita sidang di sini, di Sekretariat MUI beberpa waktu lalu. Pak Nuzul melakukan klarifikasi pada kami dan kami memberikan taushiyah pada Beliau, " paparnya.
Pihak MUI Kuningan juga, disebutkannya, telah memfasilitasi dan melakukan mediasi untuk pertemuan antara Nuzul Rachdy dengan pihak Pondok Pesantren Husnul Khotimah dalam rangka penyampaian permohonan maaf.
"Kami mengamati terus Pak Zul ini dan mencari tahu dari rekan-rekan dekatnya, ternyata Ia juga tahu tentang perjuangan pesantren. Dan tahu bahwa pesantren itu sahamnya pada perjuangan bangsa sangat luar biasa, " bebernya lagi.
Oleh karena itu, pihak MUI Kuningan melihat permohonan maaf yang disampaikan Nuzul Rachdy benar-bear tulus. Dan, MUI yakin, Zul betul-betul tidak ada niatan untuk melecehkan Pondok Pesantren seperti yang disangkakan.
"Logikanya, bagaimana bisa, orang yang tahu perjuangan pesantren akan melecehkan pesantren. Apalagi ini selevel Ketua Dewan, ini rasanya impossible, " ujarnya.
Secara pribadi, KH Dodo melihat, jika ada orang yang menyatakan sesuatu dengan maksud ada kepentingan di dalamnya, seperti untuk melecehkan (pihak tertentu), itu akan dilakukan secara berulang-ulang.
"Tapi (dalam kasus diksi limbah) ini, Pak Zul yang diulang-ulangnya malahan permohonan maafnya atas ketidaknyamanan itu, " kata KH Dodo.
Adapun, yang diksi dikatakan Zul, menurutnya, bisa saja kacaletot (terpeleset lidah), seperti yang pernah terjadi dalam kasus ungkapan yang disampaikan Bupati Kuningan (pada saat Pemilu 2019 lalu).
"Kacaletot ini bisa menimpa siapa pun, bisa rakyat, bisa pejabat, bisa orang pandai, bahkan Saya sendiri bisa saja kacaletot, " ujarnya.
Hanya saja, sambungnya, ketika terjadi "kacaletot" tersebut pihak yang mengucapkan harus segera meminta maaf pada pihak yang merasa tidak nyaman atas ucapannya itu.
"Ini sudah dilakukan Pak Zul sebagai sesama Muslim, " ucapnya.
Terkait proses persidangan BK DPRD Kuningan, imbuhnya lagi, itu bukan ranahnya MUI. Ia berharap masyarakat harus bersabar, jangan menyimpulkan dulu.
"Kalau kita mengadukan sesuatu jangan menyimpulkan dulu, biarlah para pengambil keputusan bekerja sesuai fakta-fakta yang dikumpulkan, " pungkas KH Dodo. (Nars)